Wednesday, December 17, 2014

The Keeper

You were like a dream,
I wish I hadn't
slept through.

Within it I fell deeper,
than your heart would
care to let you.

I thought you were a keeper,
I wish I could
have kept you.

Friday, August 29, 2014

Untuknya.

Angin sempat berbisik kepadaku,
“Rindukah kamu pada untaian kata manis yang menjadi pengantar tidurmu setiap malam kala itu?”
Aku sempat menggeleng kemudian terdiam.
Ada yang disembunyikan dari hati ini. Ingin segalanya enyah, tapi ternyata tidak semudah itu.

Dan kemudian rintik hujan bernyanyi,
“Kamu rindu, hanya saja kamu menghukum diri sendiri untuk tidak melakukannya.”
Dan aku hanya bisa menelan ludah.

Aku selalu tahu bahwa akan ada yang terluka dari setiap peristiwa. Apapun itu. Dan kali ini aku mengutuk diri bahwa akulah yang akan menjadi pemeran paling memilukan dalam kisah ini.

Ada rasa yang ingin sekali dihapus, seperti dengan mudahnya menghapus bait puisi tentang dirinya pada catatan kecil ini. Hanya saja, kenangan dengannya yang indah membuat aku sedikit enggan untuk melupa.

Dia mungkin bukanlah seorang yang baik hati yang memberi seluruh miliknya untuk aku, tapi paling tidak dia sempat menjadi alasan aku untuk tersenyum dan semangat menjalani hari.


Pada saat ini aku hanya bisa melihatnya jalan menjauh dari pandangan. Berdoa dalam setiap derap langkah kakinya bahwa ia akan menuju titik yang memberinya bahagia. Walau bukan bertuju  kepadaku, setidaknya aku pernah berjalan disampingnya diiringi tawa dan canda. 

Thursday, June 5, 2014

Racauan

Tulisan ini ditulis ketika diri sudah tidak sanggup lagi menahan segala kekecewaan yang melanda.

Ini bukan tentang bagaimana menerima takdir dan kemudian pasrah terhadap apa yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.

Ini hanya tentang hati yang mulai tidak mengerti permainan apalagi yang harus dijalani.

Bukan tentang kamu, yang datang dan pergi sesuka hati. Sungguh, kamu bukan yang pertama kali memperlakukan aku seperti itu.

Terlalu banyak tanda tanya besar yang menggema daalam otak dan kemudia bersarang menjadi penyakit, hanya takut kemudia otak ini lama kelamaan tidak akan pernah lagi berkompromi dengan hati karena terlalu sering mengalami racauan yang menyakitkan.

Orang bilang hidup tentang belajar bagaimana mengambil hikmah dari setiap perkara. Kalau sudah berulang kali menghadapi masalah yang sama dan berakhir dengan naas seperti sebelumnya, itu bagaimana? Padahal dirasa sudah memperbaiki dari kejadian sebelumnya.

Bukan berarti mengeluh kepada Sang Pencipta, hanya saja, mungkin sedang pada titik lemah yang ada menimpa diri. Karena terus melengkungkan senyum tanpa memperdulikan hati yang perlu ditata kembali pun memilukan.

Selalu ada yang perlu dibenahi dari hidup setiap detiknya, bukan?

Mungkin ini yang namanya kecewa pada diri sendiri karena tidak juga berangsur membaik. Hanya takut kemudian menjadi antipati dan tidak ingin berurusan lagi. Karena takut mengalami seperti yang sebelumnya.
Seperti saat ini, baru akan dimulai, tapi sudah memvonis akan berakhir seperti yang lalu-lalu.


Sudahlah, hati dan otak ini selalu saja meracau pada waktu yang tidak tepat.

Saturday, May 3, 2014

Bermakna Ganda

Entah apapun itu namanya, teryata terjerembab dalam lubang yang sama berulang kali membuatnya berpikir mungkin sudah perannya di dunia ini untuk menjadi pihak yang terus merasakan jatuh. Jatuh walau sebelumnya melayang untuk beberapa detik itu bukan perkara yang mudah untuk dihadapi.

Jangan berkomentar apapun karena yang diharap hanya untuk didengar. Hak semuanya jika ingin berkata bahwa ini adalah egois. Tapi terkadang yang benar dibutuh hanya didengar tanpa dicela, walau yang didapat haya senyum sebentar.

Katanya ini adalah proses. Entah berapa prosedur yang harus dilewati untuk mendapat hasil, karena ternyata setiap langkah yang dijalani menambah sesak didada yang semakin susah untuk meghela napas sedetik saja.

Tidak tahu salah mengartikan apa memang ada pihak yang bersalah, yang pasti ini sangat meragukan. Ingin bersuka cita tapi terlalu takut jika mendapat tetesan air mata setelahnya. Ingin berbagi kisah tapi terlalu sungkan jika ditanyai nantinya.

Jika memang harus seperti yang lalu-lalu lagi pada akhirnya, setidaknya telah mengerti bahwa ada kesalahan yang sama walau untuk disadari begitu lama. Karena menyadari kesalahan pribadi lebih sulit daripada mencari kesalahan pihak lain.

Ada yang harus diluruskan entah bagaimana caranya. Karena bertanya tak mungkin dilakukan. Dan lagi-lagi yang dibutuh hanya menunggu hasil. Setelah hasil muncul entah apa yang akan direaksikan, yang pasti setiap tindakan memiliki resiko yang sama besar.

Aku mungkin tidak pandai dalam puisi atau analogi, tapi setidaknya biarkan aku menuangkan segalanya dalam kata-kata yang bermakna ganda.

Thursday, March 6, 2014

Tulisan di kamis sore yang berhujan.

Jika selama ini prasangka itu salah, biarkan ia disana begitu adanya. Jangan katakan yang sebenarnya. Karena takkan ada yang tahu separah apa luka yang berakibat bila kenyataan terucap.

Jika selama ini prasangka itu hanya perasaan semu belaka, biarkan ia diam tak bergeming menjadi candu agar tetap menjadi alasan untuk tersenyum malu-malu walau hanya bahagia pada satu pihak. Karena membuat seseorang tersenyum tidak pernah salah.

Jika selama ini semua hanya imaji dan khayalan belaka, biarkan tetap begitu. Karena tak akan bisa diterka oleh siapapun sakit yang akan muncul ketika tahu akan kenyataan.

Terkadang hidup memang tidak seindah yang dibayangkan. Memandang lurus kedepan, merencanakan segalanya, tetapi sedetik kemudian hancur berantakan karena alam berkehendak lain.

Mungkin tidak ada garis yang ditakdirkan alam untuk bisa bersama dengan ‘kebahagiaan’ itu. Mungkin ada, tapi hanya dalam mimpi. Dan teruslah bermimpi, jangan terbangun sebelum merasa segalanya sudah cukup.

Ah bahkan ‘kebahagiaan’ itu tidak pernah cukup. Candu itu terlalu memabukkan.


Finger Peace Sign