Sunday, December 25, 2011

The 3rd, Alhamdulillah, Thank God:D

Pernah gak sih kalian yang biasanya ranking elasan karena masuk kelas unggulan, kelas yang berisikan anak-anak pinter semua, dan disitu ranking lo aja bahakan susah buat masuk ke 20 besar. Dan lalu naik ke kelas 11. kepintaran anak per kelas dibagi rata, enggak ada lagi kelas unggulan, dan tiba-tia yang asalnya lo ngarep masuk 10 esar taunya masuk 3 besar?

Itu baru saja gw alami.

Serius deh, gw cuma ngincer 10 besar. Gak lebih, dan sama Allah dikasih leih. Jujur gatau harus seneng atau gimana.Seneng lah, akhirnya masuk 3 besar juga. Siapa sih yang gak mau ranking segitu? Akhirnya bisa bikin keluarga bangga. Bikin keluarga seneng.

Tapi jujur. Agak takut anget. Dulu, di kelas 10, yang bahkan gw bukan siapa-siapa. Dan sekarang menjadi orang yang ke-tiga pinternya di kelas. Ah-mazing parah. Masalahnya, sekarang gw ranking 3, nanti harus ranking berapa? Nilai insyaALlah lah gw bisa berusaha buat naikin. Tapi ranking? Subhanallah.

Gila ya, gw duduk sama Mimin bener-bener kemajuan banget. yang biasanya tukang nyontek, buka buku, ga ngerjain pr, semuanya totally berubah!!!!!

Jujur pengen ilang makasih banget ke mimin buat semuanya selama 1 semester ini. Gw gak yakin kalo duduk sama yang lain di semester 1 itu gw bakal dapet ranking 3. Dan congrats Mimin, sebagai juara bertahan ranking 1:*

Btw ya, gimana gw gak gempor. Di semua kelas, yang rank 1 sama 2 nya dari yang asalnya X2 bos, kelas gw yang lama.


Photobucket

Photobucket

Sunday, November 20, 2011

Selalu begitu. Ia pikir, dengan bersembunyi dibalik topeng bahagianya semua akan baik-baik saja. Semua akan berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan. Semua akan berjalan dengan kebahagian yang terpancar. Ternyata ia salah.

Selama menjadi sesorang yang selalu menyembunyikan jati dirinya di balik topeng, perlahan ia mulai tidak mengenal dirinya sendiri. Perlahan rasa di hatinya sudah terlalu kebal, hingga ia mati rasa. Sampai terkadang ada satu waktu dimana ia hanya bisa memeluk lutut di balik pintu kamarnya. Diam diantara kegelapan yang ada. Diam dengan kesunyian yang menemani.

Bukan keinginannya. Entah sampai kapan ini akan terjadi, ia sendiri tidak tahu. Andai ini bisa ia lepas, ia rela melempar ini sampai ke antartika sekalipun. Ia ingin membuang segalanya sejauh mungkin. Bahkan terkadang ia berpikir, ingin hilang ingatan.

3 tahun bukan waktu yang sebentar. 3 tahun dalam jeruji penyesalan terlalu menyesakkan. Sehingga membuatnya sendiri merasa mempunyai batasan untuk bernafas bebas. Sebenarnya, setiap hari pun ia sudah bersikap seolah-olah tidak pernah ada apa-apa dalam hidupnya. Memancarkan kebahagiaan untuk para teman dekatnya. Tapi di balik itu semua, rasa kesepian menguasai hatinya. Rasa kehilangan menggerogoti batinnya.

Ia ingin seperti yang lain. Tanpa topeng. Tanpa senyum palsu. Ingin tertawa dengan lepas, tanpa sesudahnya ada air mata yang terurai. Tapi ternyata sejauh ini, itu semua belum terwujud. Dia masih terjebak dan terus mengandalkan topengnya. Entah sampai kapan.

Ketika rasa kesepian itu muncul, bukan hanya masa lalu yang langsung hadir dalam ingatannya. Entah mengapa, rasa kesepian, membutuhkan seorang sahabat pun sangat membuat semuanya terasa semakin sepi.

Ia bersikap judes dan selalu asal-asalan sesungguhnya sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang sesungguhnya. Ia terlalu mengandalkan topeng itu. Mengira ia akan terus kuat dengan ini semua.

Perlahan tapi pasti, rasa lelah itu menyeruak. Menginginkan udara segar. Membuncah untuk keluar dari hatinya. Ia muak. Jengah. Malas. Lelah terus menanti kapan semua akan berkahir. Lelah, sampai kapan ia terus seperti ini?

Entah ia atau memang sebenarnya seperti ini. Ia selalu merasa tidak dibutuhkan. Merasa, semua akan baik-baik saja ada atau tanpa dia sekalipun. Merasa, dirinya hanyalah penyempit dunia ini. Merasa, jika ia menghilang pun tak akan ada yang menyadarinya.

Semua teman terdekat yang selalu berpikir mereka berlabelkan sahabat itu bohong. Entah ia yang tidak mau mengakui, tidak mau menyadari, atau semua yang ia rasakan itu benar. Ia merasa, teman terdekatnya belum berhak berbendrolkan sahabat. Mereka belum pantas untuk menjadi sahabatnya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan sosok sahabat di sisinya. Sosok yang selalu mau menopang kepalanya di bahunya. Sosok yang rela meluangka waktunya untuk mendengar apapun keluh kisahnya. Sosok yang menerima segala kekurangannya.

Sebenarnya itu semua sudah ia dapati dari semua teman dekatnya. Tapi itu hanya terkadang. Terkadang tema dekatnya mau menopang bahunya, mau mendengar keluh kisahnya. Apa ia yang tak sadar, itu bukan terkadang, tetapi, karena ia yang selalu bersembunyi di balik topeng. Toh, bukankah teman dekatnya pun tak tahu itu, kan?

Ia merasa mempunyai 2 jiwa yang berbeda. Yang terkadang dalam waktu bersamaan bisa sebegitu berbanding terbalik. Ia ingin membuat segalanya berjalan normal, melepas topengnya. Pernah ia mencoba itu sekali. Tapi ternyata itu malah membuatnya menjadi cewek manja dan lemah. Dan ia benci itu. Padahal sesungguhnya, itulah yang ada dalam dirinya.

Bagaimanapun, dengan berjalannya waktu, ia menjadi dewasa. Harus menentukan mana yang terbaik dan ana yang buruk. Ia berusaha meyakinkan dirinya, semua akan baik-baik saja. Karena semua, sudah ada jalannya.

Ia tidak pernah lagi berharap. Mimpi yang dulu berkobar dalam dadanya sudah padam. Yang ada tinggal abu kenangan masa lalu. Tak bisa dibanguun lagi. Karena ia sendiri sudah tidak ingin untuk itu. ”Toh, mau berharap ataupun tidak, semua sudah ada jalannya, bukan?”

Hidup memang keras. Terlalu keras malah. Tapi apa salahnya untuk membangun puing puing harapan. Untuk sekedar membangkitkan asa yang runtuh dalam hati. Bukankah harapan berguna untuk membangkitkan segalanya, untuk berpikir optimis?

Sunday, September 4, 2011

Aku berhenti bukan karena aku sudah tidak sanggup. Aku menyerah bukan berarti aku lelah. Aku melepas bukan berarti aku lemah.
Aku hanya tidak sanggup menunggu lagi, toh sampai kapanpun aku menunggu, aku tahu hasilnya akan seperti ini. Selama apapun aku bertahan, nihil yang akan kudapat pada hasil akhir.
Aku juga wanita yang bisa menangis ketika sesuatu mencabik hatiku. Aku hanya manusia biasa yang tak pandai meracik emosi dalam jangka panjang.
Aku sudah terlalu lama diam. Diam menunggu kamu yang tak juga datang memberi jawaban. Diam menunggu kamu memberi isyarat kepadaku apakah aku harus berhenti atau tidak.
Aku sudah terlalu lama diam. Diam sendiri menyembunyikan segala luka yang menyayat hati. Diam menangis di dalam hati.
Aku hanya butuh kepastian. Karena sampai kapanpun aku menunggu, bila seterusnya akan seperti ini, aku (juga) hanya akan mendapat nihil di penghujungnya.
Aku melepasmu bukan berarti aku sudah tidak sanggup memeluk bayangmu. Aku melepas karena aku tahu, ada wanita yang lebih kuasa memeluk ragamu, bukan hanya bayang seperti aku.
Aku berhenti menunggu bukan berarti aku sudah sanggup hidup tanpa kenangan masa lalu. Aku berhenti karena kau mempunyai kenangan yang lebih syahdu.
Aku diam. Aku diam. Aku diam.
Jangan tanya aku macam-macam.
Sesungguhnya aku masih menyayangmu, masih ingin memelukmu, ingin dibuai olehmu. Tapi aku sudah muak hidup dengan sejuta sandiwara setiap kali aku mengingatmu

Friday, June 17, 2011

"Aku terus meyakini diri sendiri bahwa semua memang baik-baik saja. Semua masih dalam alurnya. Alur yang Tuhan ciptakan se-detail mungkin untuk aku telusuri lika-likunya. Aku masih berusaha menerima semua, meyakini semua, menabahkan hati, bahwa ini, yang terbaik. Entah sampai kapan, bahkan sampai sumpah serapah aku telan kembali, ini masih saja menyakitkan. Tak menemukan ujung yang tak berduri, karena semua tepiannya berduri dan menggesek permukaan kulitku hingga ke tulang. Tetapi tetap saja, aku terus menelan semuanya bahwa ini memang yang terbaik. Sekalipun aku harus mati dalam rasa yang ada di hati. Hingga aku merasa aku sudah cukup gila untuk bisa merasakan sesuatu."

Thursday, June 16, 2011

Di Balik "Selamat Ulang Tahun"
by Bardjan Triarti on Sunday, 30 January 2011 at 13:40
I---- KETIKA ESOK ADALAH HARI ULANGTAHUNMU



Kau sengaja menahan kantuk sedemikian kuat hingga larut tengah malam menyeruak ke permukaan waktu.
Sengaja menyiapkan bergunduk kudapan untuk kau nikmati sepanjang malam menjemput sambil menyiapkan beberapa kepingan film yang kamu sendiri linglung ingin menonton yang mana dulu.
Kau sandarkan ponselmu pada pusaran bantal,
berharap akan ada gemetar-gemetir pada ponselmu yang kemudian menyembulkan ucapan-ucapan dan doa-doa sakral dari kekawanmu,
sehingga kau akan kerepotan untuk memilah kata-kata yang bagus untuk berterimakasih atas ucapan mereka. Atau bahkan kau bingung untuk membalas secara keseluruhan

Di kepalamu ada banyak runtutan harmoni-harmoni yang bersatu menjadi rapsodi bertitel "selamat ulangtahun" dengan partitur kaku yang belum bisa kaunyanyikan sendiri dengan lidahmu
karena kamu ingin mendengarkan bintang-bintang itu yang menyanyikannya untukmu, sehingga gugus di angkasa akan membentuk irama-irama yang manis dan melagukan rapsodi bertitel "selamat ulangtahun" itu dengan bingkai embel-embel namamu pada liriknya.

Kau uring-uringan di depan cermin, menyiapkan beberapa mimik pada raut wajahmu, seperti raut bahagia, terkejut, haru, dan heran. Kau mengganti warna wajahmu berkali-kali di depan cermin sambil memercayai bahwa raut-raut wajah itu akan kaupakai di hadapan kawan-kawanmu ketika hari esok mereka akan menyapamu, menjabat tanganmu sambil mengucapkan selamat akan ulangtahunmu dengan serapah-serapah doa yang mungkin hanya terdengar klasik dan impromptu,tapi sebenarnya penuh makna.
Kau mungkin sering merasakannya; ketika kau mengucapkan selamat ulangtahun pada salah satu temanmu tanpa menyertai doa, kau akan merasa ucapan itu kurang sopan dan kurang manis. Maka kau menambahkan kata-kata doa seperti "semoga" ataupun "mudah-mudahan" pada ucapanmu agar kesannya lebih niat dan sopan. Kau akan menganggap itu sebagai formalitas karena belum tentu kau akan mendoakanteman-temanmu secara praktikal di kehidupan sebenarnya ,bukan?
Namun ketika kamu sedang berulangtahun dan kau menerima ucapan ulangtahun dengan embel-embel doa "semoga...." ataupun "mudah-mudahan...", kau tak akan merasakan doa itu sebagai formalitas dari kawan-kawanmu.
Hatimu akan tanggap menangkap doa itu sebagai doa yang memang didesain kawanmu dari hatinya tanpa kesan klasik atau spontanitas. Kau akan menerima banyak doa yang beragam dan kau sama sekali tak menganggap doa itu hanya sebagai pelengkap pada ucapan selamat ulangtahun yang selama ini kau prasumsikan. Ajaib, eh?

Kau akan menerka-nerka apa yang kawanmu siapkan sebgai kado ulangtahunmu atau sebuah rencana mereka, seperti mengejutkanmu dengan sebuah kejutan ulangtahun yang tak bisa kautebak kapan mulainya dan darimana munculnya. Kau tetap berdiri di depan cermin sambil tersenyum penuh tidak kesabaran akan hari esok. Kau sudah mencium aroma-aroma "kejutan tersembunyi" yang sudah digagas oleh kawan-kawanmu, namun kau tetap bersikap seperti halnya biasa. Kau akan pura-pura tak mengetahui apa-apa ketika esok hari, padahal dalam hati kau harus siap siaga akan responmu ketika menerima siasat kejutan itu. Menurutmu, berhasil atau tidaknya sebuah kejutan ulangtahun juga sangat bergantung pada pihak yang berulangtahun itu sendiri.Kau harus tau bagaimana menghargai sebuah kejutandengan sangat apresiatif. Apa jadinya jika teman-temanmu sudah dengan meriah dan rapi memberi kejutan ulangtahun, tetapi ekspresi dan responmu kurang antusias menyambutnya. Itu sama saja dengan berkata, "Ah, aku sudah menyangka kok kalau kalian akan memberikan kejutan ini."



II---ANGKA TUJUH BELAS


Halo.

Back to the real world. Kau kembali ke kasurmu untuk sekadar tidur-tiduran, mendengarkan musik dari ponselmu, dan menekan-nekan remote televisi sambil mencari acara yang bersahabat dengan rona perasaanmu saat ini. Waktu seakan berjalan dengan satu kaki; dengan tempo yang sangat lambat dan ogah-ogahan, sedangkan alur kehidupan di dalam otakmu berlari cepat dengan kedua kaki. Kau mencoba larut dalam melodi-melodi favoritmu pada plasylist di ponselmu, sambil seekali membuka beberapa social networking untuk menghabiskan banyak waktu, mengobrol lewat chatting messenger, twittering, dan browsing untuk mencari-cari berita terbaru dari selebritis Hollywood favoritmu. Namun, kamu tak menyadari bahwa semua yang kaulakukan sebagai pengisi keluangan waktu tadi adalah tindakan yang percuma, karena seharusnya kau memikirkan bagaimana hari esok adalah lembaran baru dalam kehidupanmu. Kau akan melewati gerbang dari batas-batas fase hidupmu sebagai remaja biasa. Kau akan mempunyai buku baru untuk ditulis dengan kerangka-kerangka hidupmu yang lebih tinggi. Maturitasmu akan lebih diperhitungkan di sini dan ukuran bagaimana kau menghadapi tiap permasalahan dalam hidupmu akan menjadi taruhan sehari-hari.

Apa kau menyadarinya? Mungkin, karena kau sudah terlalu lama tenggelam dalam dunia remaja yang hanya sebatas memikirkan kesenangan untuk hari ini tanpa memikirkan bagaimana esok hari, pola pikirmu masih berjalan statis pada kenyataan baawa kau masih bisa melewati satu hari di sekolahnya. Kau sudah 'kepalang basah' akan anggapan bahwa kehidupan hanya berkisar tentang sekolah, cinta, jalan-jalan, nonton film, tertawa,makan, dan tidur. Sirkulasi itu akan menjadi bahan luntur yang akan menggerogoti pola pikirmu di usiamu yang baru ini. Jika kau akan terus berpikir statis, maka waktu akan membantingmu dengan putarannya yang mahadinamis. Sektor kehidupanmu akan bertambah luas dan tanggungjawabmu akan lebih banyak. Emosimu mungkin masih goyah akan labilitasnya, namun kau juga akan mempergunakan kadar logika yang lebih banyak dibandingkan kadar kerja hatimu.

Tak bisa kaupungkiri, esok usiamu menginjak angka tujuh belas.

"Usia 17 tahun adalah sebuah usia yang bagi sebagian kalangan dianggap sakral. Karena pada usia tersebut, dianggap sebagai sebuah pintu gerbang perubahan kehidupan dari seorang anak menuju kehidupan orang dewasa.
Karenanya, tak jarang ketika memperingati ulang tahun pada angka tersebut ada kalangan yang merayakannya dengan cara yang mereka anggap istimewa. Mengingat pada usia inilah seseorang akan memulai sebuah kehidupan yang diwarnai kebebasan."

Kamu tiba-tiba berhenti pada satu frase di wacana pikiranmu tadi.
'Ada kalangan yang merayakannya dengan cara yang mereka anggap istimewa'

Kau menebalkan tulisan itu dengan spidol berulang kali, kemudian kembali beradu dengan hati dan akal sehatmu.

Esok usiamu tujuh belas tahun dan tak ada sama sekali pesta. Tak ada perayaan berarti yang melibatkan teman-temanmu untuk datang merayakan sambil mengenakan dresscode yang sengaja kau karang sebagai tema pestamu. Tak ada balon atau pita warna-warni yang disinambungkan pada setiap tembok-tembok rumahmu. Tak ada sanak keluargamu yang repot memasak makanan yang lezat-lezat untuk esok hari. Tak ada seperangkat sound sistem yang megah dengan gabungan piano atau organ tunggal di depan teras rumah. Tak ada jajaran kursi-kursi yang seharusnya disewa beberapa hari yang lalu dengan uang muka sebagian. Tak ada gaun berenda-renda anggun yang seharusnya kaubeli dari uang tabunganmu sendiri demi menjadi yang paling cantik esok malam. Tak ada kartu undangan warna-warni yang didisain di atas karton. Tak ada apapun. Hanya ada kau, hari esok dan angka tujuhbelas.

Alunan melodi itu masih saja memainkan kupingmu dengan cermat dan apik. Waktu masih meunjukan pukul 10 malam. Kamu berbaring di kasur selama beberapa menit hingga akhirnya kau tidak sengaja terenyuh dalam suasana malam yang memberatkan matamu. Kamu tertidur.




III---- MALAM HARI DI SUATU TEMPAT YANG AKU RAGU AKAN NAMANYA



Kau terkejut ketika membuka mata sambil menyadari bahwa kamu tertidur sejenak. Cepat-cepat kau menegangkan otot matamu dan lekas bangun dari kasurmu. Kau hendak keluar kamar untuk mencuci muka dan mengambil kudapan untuk malam hari. Sebelum keluar kamar, kau mengecek ponselmu seraya melihat penanda waktu pada layarnya. Kau menghela nafas lega karena ini masih jam 11 malam. Kau belum melewatkan beberapa detik yang mahal pada awal-awal perpindahan usiamu.
Jantungmu lompat beberapa inchi dan matamu membelalak tajam. Kau terkejut setngah mati ketika melihat apa yang terjadi di luar kamar. Kau seperti memasuki dimensi baru dalam ruang kehiduapnmu. Kau mencubit-cunit punggung lenganmu untuk memastikan bahwa kau tak sedang berada dalam alam mimpi yang liar.

Kau seperti berada pada satu ruangan luas dan megah, lantainya terbuat dari porselein yang halus dan dilapisi karpet dari bulu-bulu hewan Persia. Pahatan dinding-dinding kokoh dan megah bercatputih terang dengan hiasa pita-pita berenda, balon warna-warni, dan juga beberapa bingkai lukisan. Ada spanduk tertera di situ, "Happy 17th Birthday, Bardjan!"

Di bagian muka ruangan itu berdiri satu balok panggung yang sangat besar dan cukup tinggi sehingga butuh tangga untuk meraihnya, di atasnya terdapat beberapa set sound system yang berjajaran, beberapa kabel-kabel panjang yang saling berkesinambungan, beberapa stand-microphone dan juga sepasang gitar listrik. Aku naiki panggung tersebut dan dari atas aku bisa melihat betapa kursi-kursi itu menghampar beberapa deret untuk diduduki para tamu.
Di bagian kiri, tak jauh dari panggung kau melihat prasmanan di atas dua meja panjang dengan makanan-makanan lezat, buah-buahan segar bewarna-warni seperti membentuk warna pelangi, dan juga gelas-gelas kaca yang dari bentuknya sangat cocok untuk diisi sirup maupun koktil. Kau terpenrangah sambil tersenyum puas, namun hati kecilmu siapa yang bisa bohong. Hati kecilmu penasaran dengan apa yang terjadi saat ini. Di ruangan besar seperti gedung mewah sewaan itu hanya ada seonggok tubuhmu sendiri yang matanya berkelana mencari satu orang yang berada seruangan sepertimu. kau mencari batang-batang hidung yang lain, seperti orangtuamu, kakakmu, atau mungkin salah seorang tukang yang telah berhasil mendekor ruangan ini menjadi indah,elegan,mewah, dan apik.

Kau mulai merasa ketakutan sekaligus kesepian. Nuranimu sudah berkata berjuta-juta kali bahwa kau sedang bermimpi, tetapi emosimu mengelak dan yakin bahwa kau sedang berada pada ruang dan dimensi yang nyata. Kau akan merayakan pesta ulangtahun besok dan malam ini semua keperluan pestamu sudah begitu siapnya tinggal au memastikan siapa saja yang bakal datang dan gaun mahal apa yang kau bakal kenakan serta perhiasan apa yang bakal kaupakai untuk memperindah hiasan gincu. Namun di sisi lain kau tak bisa menipu diri bahwa kau merasa aneh dan takut.
Dari balik microphone kau berteriak seakan membelahduakan seisi ruangan itu,

"HALLOOOOOO!!!!!"

Tak ada jawaban sama sekali. Hanya pantulan suara yang datang dari kerdamnya dinding-dinding tinggi itu, kemudian menyebarkannya keseluruh ruangan dengan oktaf yang lebih tinggi. Kau merasakan lututmu lemas ketakutan. Nalurimu menyuruh untuk kembali ke kamar dan mengambil ponselmu untuk menghubungi siapa saja untuk meluapkan cerita pada masa ini, tetapi ketika kau turun ke dasar tangga, kau menyadari bahwa pintu kamar yang tadi menyambungkanmu dari ruangan megah ini sudah lenyap. Tidak ada apa-apa. Hanya dinding rata. Tak ada pintu lagi.

Tiba-tiba ruangan menjadi semakin gelap. Cahaya semakin redup seraya satu persatu lampu-lamu yang bebrbentuk kristal safir menggantung di atap itu semakin kehilangan terangnya. Ada suara-suara tawa yang menggelombang entah darimana, seperti sedang dalam kerumunan beberapa orang yang bersenda gurau, tetapi yang kaulihat hanyalah bayanganmu sendiri yang sekarang semakin luntur karena ruuangan itu sudah tak ada cahaya lagi. Kau berlari kencang menuju bagian belakang ruangan itu. Rasa ketakutan dan penasaran adalah gabungan terdasyhat bagaimana seorang pelari marathon bisa berlari kencang samapi garis finish, sebagaiamana kau meraih pintu keluar dari ruangan itu dengan desah nafas yang tak ada aturan.

Kau berhasi keluar dari gedung aneh itu, namun kaukira kau bisa merasa aman dan menang? Kau masih merasa buntu dan seperti anak tersesat. Jalanan di luar sana ternyata sangatlah sepi dengan semilir angin dingin yang memainkan bulu kudukmu naik-turun. Kau tak berbicara apapun, pun bersumpah tak akan menoleh gedung aneh itu untuk kedua kalinya.

Tiba-tiba ada mobil dari kejauhan, mendekat menuju arahmu. Tanpa kau yang memberhentikannya, mobil itu sudah berhenti sendiri di hadapanmu.

"Miss, need some picking up?" Seorang pemuda itu menurunkan kaca jendela mobilnya. Tanpa pikir panjang, kau naik masuk ke mobilnya dan duduk di sebelahnya yang sedang menyetir. Kau melihatnya dari atas sampai bawah; ia adalah seorang pemuda yang berpenampilan rapi dengan setelan seperti sopir taksi. Ia tak menolehmu sama sekali; fokus pada hamparan jalan di depan ekor matanya.

"Kalau boleh tau, ini di mana?" Kau memberanikan diri untuk bertanya

"Able to speak English?" jawabnya sambil menaikan satu mili alisnya. Apa boleh buat, kau merasa sedang menjadi seorang turis yang sudah hatam bahasa Inggris.

"Well, where is this? It's strange," jawabku sambil tergagap-gagp. ia menolehku dengan sapuan lengkung bibir yang sangat manis.

"Strange? No. You are strange. Are you lost? What's the matter that you waring that pajamas? Pajamas party?"

Kau tersadar ternyata memakai piyamamu yang lusuh berwarna merah jambu.
"Well, I am not lost. I just wanna go home, but.... There's something I gotat tell, but please believe me. i am not lying at all." Pemuda itu mengangguk, bersedia mendengarkan ceritamu.

Sepanjang perjalanan kau terlalrut bercerita seperti sedang berorasi di tengah massa. Kau bahkan menggunakanberibu ekspresi untuk menceritakan "dongeng"mu itu. Sekali lagi kau tegaskan bahwa, untuk kali ini, walaupun nuranimu sudah berkata dari tadi bahwa ini hanyalah mimpi, namun kau tetap bersikukuh bahwa kau sedang berada pada alur dimensi yang nyata dan tak ada mimpi ataupun dongeng pengantar tidur yang terselip di sana. Selsai bercerita, pemuda itu tertawa.

"Hahahaha.. So, you would have your own 17th party, but it ended with a horrible thingy. Eeeeew.." Pemuda itu bertampang seperti mengejekmu.

"Yeah, that's why I ran away. That's not my house! And I don't even want to hold my own party, not even in my wildest dream. I just wanna enjoy my day tomorrow just the way it is, without party, without any loud music, without any costly foods, without any great stage, even without any pleasent dress. I just wanna be with my family and belonging with my friends as what I always hope for. And now, I just wanna go home.." Kau megap-megap menggapai oksigen di dalam mobil itu, berhenti sejenak mengambil jeda sambil menarik nafas dalam. Ucapanmu melemah ketika mengucapkan kata-kata "go home".

"I understand, sweety. But, did u know that you are too young to depress about that thing? You are trying too hard to make your birthday worthy. But, it's not what you need. You can make all day in your life so special, not only in your birthday. You can make everyday in your life turn out like a birthday gift; a gift that u can enjoy with your family, friends, or someone that you love for sure." Kau tak menjawab mendengar pernyataan dari pemuda sok bule itu sampai akhirnya ia melanjutkan berkata-kata,

"Remember one thing that your age is only a number, even SEVENTEEN is only a number. because the main thing is, you can get some matures, growing older by your manners, your attitude,and you can work even further to reach your dream. You are grown, sweety!"

Kau terdiam mendengar jawaban pemuda itu. Ada ancang-ancang ucapan yang hendak meluncur dari kerongkonganmu, namun kau tak kuasa mempercayai bahwa ucapan yang barusan keluar dari mulut pemuda itu telah meluluhlantakan hatimu, seperti angin yang mengobrak-abrik taman mimpi di hatimu. Jawaban pemuda itu sunggulah tak panjang namun dapat membuatmu begitu mengerti apa yang sedari tadi bergemuruh di dalam hatimu. Emosimu dan logikamu mulai membuat benang-benang yang saling menyambung dan bersenyawa. Pikiranmu tak lagi butnu; banyak jalan-jalan seperti gang kecil pada otakmu yang menuntunmu perlahan menuju jawaban yang sebenarnya. Kali ini kau menoba menutup mata dan membukanya beberapa detik kemudian untuk memastikan bawha kau masih duduk di sana.

Karena akhirnya hati dan logikamu telah bersikukuh bahwa kali ini kau benar-benar sedang bermimpi.



IV----BIARKANLAH ENGKAU SENDIRI




"So, your home is that way. Just wait a little longer and you'll reach your home."

"Uhmm.. Can you just turn over to the backwards?"

"Why? You said you wanna go home, then."

"No, no, no! I don't wanna go home. Now, could you please take me to the beach?"

Pemuda itu memicingkan matanya dengan heran. Dahinya berbentuk kerutan yang berakar-akar, memberi tanda bahwa kau harus mengulang lagi permintaan yang tadi.

"I said, would you mind accompanying me to the beach? I know that somewhere there is a beach nearby. Nothing is impossible, because I am dreaming.......... And you.. you are not real. You are also dreaming.
Congratulation, we are in a same dream."


-----------------------------------------------------------------------------------------------


Akhirnya kau tiba di pantai, sendirian. Tak peduli lagi akan kesepian atau ketakutan akan hal-hal yang sama sekali jauh dari logika maupun emosimu. Kau sekarang tak butuh lagi rasio untuk menikmati malam ini. Kau menyediakan hati dan otakmuuntuk menjadi orang gila semalam yang tak pernah takut akan kehilangan siapa-siapa. Kau percaya bahwa malam ini adalah mimpi biasa yang muncul pada setiap umat manusia di belahan dunia manapun. Ketika kau terbangun dari tidurmu, kau akan kembali pada dimensi di mana semesta bergulir pada lingkaran waktu yang sebenarnya. Kau tak takut kehilangan siapapun. Kau tidak takut tak bisa menikmati waktu dengan orang-orang terdekatmu, karena setiap hari kau bisa menikmatinya setiap hari, tanpa mengenal momen khusus, ataupun momen hari ulangtahun, atau mungkin ulangtahun ke tujuhbelasmu.

Pemuda itu benar. Umur hanya angka. Dan tujuhbelas juga termasuk angka, bukan?

Kau berlari meuju ombak pantai itu. Kakimu membaur dengan gelombang mungil yang diantarkan oleh laut seraya pasir putih itu menenggelamkan jari-jari kakimu. Kau berdansa-dansa sendiri di panta itu dengan hawa dingin yang menabrak-nabrak tubuhmu, namun kau tetap saja berdansa sendiri. Kau merasakan bagaimana ombak dan angin telah menyajikan satu bentuk rapsodi musik yang paling agung untuk berdansa, seperti lantunan philharmonic yang memanjakan jiwamu terbang. Kau merasakan kebebasan paling bersahaja malam ini, ditemani deburan ombak yang kawin dengan semilir angin dan bau laut yang menyeruak ke dalam tubuhmu.
Malam ini, kau tak hendak pulang ke rumah. Buat apa kau pulang jika sesampainya di rumah ternyata kau masih bermimpi? Jadi kau akan menghabiskan sisa-sisa waktu di mimpimu untuk menikmati kesenidiran yang bebas, sebebas pelesir gelombang laut yang bebas menari sesuka hati. Kau ingin bebas seperti ombak yang hanya pecah ketika dihempas karang raksasa.Kau hanya ingin bebas sebelum aku menuju gerbang baru dalam fase hidupmu, di mana kau tak hanya dituntut untuk bertambah dewasa secara angka, tetapi juga dewasa secara maturitas, perlakuan, cara pandang, dan pola berpikir dalam menghadapi suatu masalah.

Kau mencoba berenang sekuat tenaga menerobos batas pantai tanpa takut tenggelam karena kau yakin ini hanyalah mimpi belaka dan kau tak akan bisa mati konyol dalam mimpi. Hingga akhirnya, beberapa kali kau mencoba melawan ombak dan berapa usaha kaukeluarkan untuk menerobos ombak, ombak malah semakin kuat melemparmu ke pesisir pantai di mana kau berpijak dari awal.

Kau menarik nafas sambil meresapkan bau laut itu pada dalam ragamu, lalu mengeluarkannya dengan pelan sambil tertawa kecil. Kau mulai berdansa lagi di sana. namun kini, kau berdansa sambil bernyanyi.

"Happy birthday to me, happy birthday to me. happy birthday, happy birthday.. happy birthday to me.."




----By Bardjan

http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150398869175383

Saturday, May 21, 2011

Biarkan

Biarkan aku mengenang ini semua. Membiarkan luka yang telah lama tak pernah mau aku ingat, kini, malah dengan sengaja aku korek sendiri. Aku yang mengingatnya sendiri.
Tinggalkan aku disini sendiri. Aku masih ingin menanti. Selama apapun ia akan kemari. Walau sebenarnya dia tak akan kembali. Bagaimanapun caraku untuk membuatnya tertarik.

Luka ini bukan hanya sekedar luka. Bukan hanya luka masa lalu atau sebongkah penyesalan. Kalian tidak tahu ini apa, aku yang merasakan ini dengan jelas. Aku yang mengalaminya. Diam! Jangan bicara tentang apapun. Kumohon, kalian pasti tak akan mengerti. Jangan memintaku untuk melupakannya apalagi mencari penggantinya. Sudah berapa kali kubilang, ia tak akan pernah terganti. Kalian tak mengerti ini.

Walau disini sunyi, aku tak peduli. Dimanapun aku, tanpanya tetap saja merasa sepi.
Aku hanya ingin semua kembali, diputar ulang agar aku bisa memperbaiki. Agar ia bisa mengosongkan celah hati, untuk sekedar aku singgahi, bersihkan debu yang dulu namaku pernah terpatri, agar sekarang patri itu muncul kembali. Biarkan aku memasuki relung hati, aku tak akan pernah melakukan kesalahan yang sama lagi.

Bahkan sejuta rantaian kata yang sudah ku susun sebegitu apik ini tak akan bisa membuatnya membuka celah hatinya lagi untukku. Sejuta apapun caranya, bahkan cara terlicik di dunia ini pun aku tak yakin akan mampu meluluhkan hatinya. Lagi pula, aku tak seberani itu untuk memberikan surat omong osong ini padanya. Aku tidak seberani itu.

Ijinkan aku terus hidup dalam masa lalu. Dalam kubangan yang semakin menyesakkan. Tetapi malah kubangan itu sudah kubenahi, aku membuat jendela di dalamnya. Setidaknya, aku butuh sekali-kali untuk bernafas segar. Walau tetap saja, aku sudah terlalu jatuh cinta pada bau di kubangan ini.

Jangan paksa aku untuk keluar kumohon, ijinkan aku untuk tinggal lebih lama. Setidaknya kumohon, yakinkan aku bahwa aku bisa melewati semua ini. Bahwa aku sebenarnya harus membuat jendela lebih besar, bahkan pintu tempatku keluar. Bahkan seharusnya kubangan itu sudah aku kunci dan aku kunjungi suatu saat saja. Bukan malah disana selama ini.

Tuhan, aku tahu, aku memang sudah terlalu sering megeluh. Sudah terlalu sering meminta. Tapi tolong, aku mohon, biarkan aku merasakan hangatnya kasih yang tercipta dari seorang lelaki yang amat aku sayangi. Bisakah Tuhan? Aku ingin seperti mereka yang bisa mendapatkan itu.

Tidak, aku tidak merasa jengah. Aku tidak akan pernah merasa jengah. Aku tidak akan keluar sebelum kubangan ini sudah benar-benar tidak layak pakai. Tetapi sepertinya kubangan ini akan selalu siap sedia untukku, karena aku juga selalu membenahi ini.
Aku terus saja merasa ini semua baik baik saja. Bahkan aku lupa rasanya jujur pada perasaanku sendiri. Aku lupa rasanya menangis dalam bahu seseoarng. Aku lupa raasanya mengungkapkan segala yang aku rasa. Aku mati. Mati dalam segala perasaan.

Tolong, jangan marah.

Aku boleh bertanya tidak? Seperti pertanyaan Raditya Dika dalam bukunya yang berjudul Marmut Merah Jambu,
Apa yang salah dari orang yang terlalu dalam sayang sama orang lain?
Memangnya aku salah, menyayangim sampai bisa menjadi sebegini bodoh? Sampai-sampai melupakan bagimana rasa sakit itu,karena dengan bodohnya aku semakin menikmati rasa sakit itu?

Thursday, May 5, 2011

Ternyata berdiam terus dalam kubangan sendirian itu tidak baik ya.


Entah gue yang cuek, atau gue yang masih berpura-pura.



Wednesday, April 20, 2011

Jika Hati Adalah Rumah
by Bardjan Triarti on Sunday, 24 January 2010 at 15:22
Jika Hati Adalah Rumah.
Kamu bisa mengintip ruang teras dengan sebuah kursi di dalam hati saya. Kursi itu tidak pernah diduduki lagi selain kamu yang boleh mendudukinya.
Padahal dari teras itu kita bisa bersantai, mengudap sepotong roti atau secangkir hangat teh dengan cangkirnya yang keemasan.
Tentang ayam-ayam yang kita pelihara di hampar halaman rumah kita, kini mereka berciak-ciak kelaparan. Tapi mereka hanya ingin makan dari tanganmu.
Tentang pepohonan yang tak pernah sepi dari tenggeran burung-burung mungil, biasanya berkicau. Tapi mereka hanya berkicau saat menyambut kamu pulang ke rumah dengan senyuman rapi yang selalu kamu sunggingkan walau kamu lelah bukan main
Tentang ranjang di mana kamu terlelap sembari melilitkan helai rambut saya di jemarimu dan setumpuk bantal yang masih itu-itu saja, smell of your hair.

Kamu bisa lihat hati saya? Rumah kita. Di terasnya ada sebuah kursi yang suka kamu duduki dengan kepala tengadah ke atas, lalu saya menghampiri kamu sambil melumat bibir merah kamu yang belum terjamah tar dan nikotin (Kamu tahu apel Rome Beauty? semerah itulah kamu punya bibir)

Tapi sekarang kursi itu kosong, berdebu, dan laba-laba senang bersarang di situ. Belum sempat saya bersihkan, habisnya, kalau melihat kursi itu saya jadi kangen dan menyumpah serapah diri sendiri. Melaknat sadis diri-sendiri.
Adakah kapan kamu pulang dan terima maaf saya?


By Bardjan To.......you


http://www.facebook.com/note.php?note_id=448712735382

Monday, April 18, 2011

Marmut Merah Jambu

"Pada akhirnya orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, penghargaan yang ada dari dulu, yang tumbuh mulai dari kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh. Orang yang jatuh cinta diam-diam akhirnya menerima, Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan kadang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak sesungguhnya kita butuhkan. Dan yang sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang selalu mereka lakukan, jatuh cinta sendirian."

"Dalam hati, gue berharap hubungan gue dan pacar gue sekarang seperti hubungan binatang yg setia satu sama lain selama hidupnya. Ambil contoh burunglovebird, burung ini setia sama satu pasangan selama hidupnya, sampai-sampai ketika pasangannya mati, burung yg satunya lagi akan merenung, depresi, akhirnya tdk lama kemudian mati meyusul pasangannya."

Orang yang jatuh cinta diam-diam tahu dengan detail semua informasi orang yang dia taksir, walaupun mereka belum pernah ketemu

Orang yang jatuh cinta diam-diam memenuhi catatannya dengan perasaan hati yg tidak tersampaikan

Apa yang salah dari orang yang terlalu dalam sayang sama orang lain?

Tidak ada yang bisa menghilangkan rasa selai kacang seperti cinta yang tak terbalas.

Jika cinta bisa membuat tahi jadi rasa cokelat, cinta yang tak terbalas bisa membuat cokelat jadi rasa tahi

Cinta mungkin buta, tapi kadang, untuk bisa melihatnya dengan lebih jelas, kita hanya butuh kacamata yg pas

"kita bakalan kayak gini terus". Janji yang terkadang gak bisa ditepati

Belalang sembah jantan berani mati demi cinta.
(Jadi, kalo belalang sembah abis kimpoi, kepala belalang sembah cowok bakalan dimakan sama belalang sembah yang cewek)

Ferret. "Mereka mati gara-gara jomblo"
(Ferret betina itu jika tidak kimpoi pada musim kimpoi, mereka akan kelebihan hormon yg dapat menyebabkan mereka mati)

Burung lovebirds, burung ini setia sama satu pasangan selama hidupnya
(Burung ini cuma menikah satu kali, jika salah satu pasangan mereka mati, maka yang lain akan setres terus gak lama bakal nyusul mati juga)

Pacaran pada dasarnya punya risiko: ngambek, marah, dan akhirnya diselingkuhi, dan patah hati.

seperti marmut yang tidak tahu kapan harus berhenti berlari di roda yg berputar.

Karena kita seperti belalang, tahu bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian.

Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yg kita inginkan

apa sekarang saatnya untuk berhenti seperti marmut yg ga tau kapan berhenti

Karena luka hati, terutama ketika tidak dijahit, bisa jadi tidak akan pernah kering

Bagaimana orang bisa bertemu memang aneh, absurd dan kompleks ::
Tapi di depan dia, gue adalah orang yg serius. 'For other people, they see me as a clown, but for you, i show you the human.
Kangen itu salah satu perasaan paling mengganggu, tapi sekaligus paling menyenangkan. Gue jadi sering bengong di atas meja kerja. Memikirkan dia lagi apa, apakah dia memikirkan gue juga

Masing-masing dari kita punya garis kehidupan yg telah digambarkan. Dan masing-masing dari kita, kalau diizinkan, akan saling bersinggungan

Kalau mimpi kita ketinggian, kadang kita perlu dibangunkan oleh orang lain

Cinta mungkin buta, tapi kadang, untuk bisa melihatnya dengan lebih jelas, kita hanya butuh kacamata yg pas

Tuesday, April 12, 2011

Tentang Gadis dan Sebuah Maaf
by Bardjan Triarti on Wednesday, 14 July 2010 at 22:32
Dia punya senyum yang lucu. Kadang aku terkekeh. Aku tak bisa bayangkan bisa setegar dia, bahkan saat diguyur hujan pun dia belum juga basah. Ya, walaupun aku tahu, sebelumnya dia pernah basah akan air yang mengalir dari ekor matanya. Tapi sekarang, air itu sudah beku.
Beku menjadi taring-taring es. Saking piawainya dia mengolah dan meracik emosi, sekarang taring-taring es itu sudah jadi pajangan tembok serambi kamar. Dia tidak begitu peduli lagi.

Dia tak ambil peduli lagi akan malam yang pernah mengutuksumpahi dirinya akan jembatan yang kini sudah dibongkar sadis oleh seseorang. Dia tak ambil peduli lagi akan malam yang cakarnya suka mencabik-cabik kulitnya hingga dagingnya menyeruak ke luar. Dia tak ambil peduli lagi akan malam yang ingkar janji akan mengucap kata 'sayang, tetapi malam malah mengucap kata 'bayang'.

Namun, dia tak akan bisa luput dari satu nama. Satu nama yang belum dia lipat jadi dua. Satu nama yang sudah dia sobek-sobek jadi kain perca, namun suatu saat dia bisa menyusunnya lagi dalam bentuk mozaik pada bingkai emas. Mozaik yang sampai saat kini masih mejadi bagian dari kesehariannya; seperti menjerang air untuk mandi pagi, atau sapaan 'halo' yang sederhana, namun bersahaja untuk beratus-ratus hari ke depan.

Hatinya kini belum tertutup rapat. Masih ada celah pada pintu hatinya yang masih belum penuh ditutup, atau sepertinya dia sisakan sedikit agar sinar rembulan bisa mampir sebentar saja ke hatinya. Walaupun pintu hatinya sudah dikunci rapat suatu saat, dia masih akan selalu jadi gadis yang tersenyum lucu. Aku terkekeh.

Begini katanya,

"Jika aku sudah mengunci pintu hatiku rapat dan kuncinya entah aku buang ke mana, jangan khawatir. Hatiku masih punya jendela. Siapa saja bisa mampir lewat jendela jika tidak ada pintu, bahkan daun lontar yang kering kerontang bisa masuk bersama angin lewat jendelaku. Tapi kamu bukan selembar daun kering. Kamu tak perlu dialiri angin untuk masuk ke hatiku. Cukup panjat saja hatiku, lekati. Maka kamu sudah bisa masuk ke hatiku. Berkali-kali. Aku juga punya balkon di luar jendela hatiku, siapa tau kita bisa bercengkrama sambil menengadah ke atap langit."

Masih ada kesempatan untuk berbahagia. Celah kosong lama-lama akan terisi. Penuh lagi. Begitukah maksudmu?

--bardjan, bogor 2010
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150231449875383

Monday, March 28, 2011

Kepingan itu masih berserakan. Menunggu seseorang untuk mengembalikan. Lantas ia bisa meninggalkan. Rasa sesak yang selama ini terus menekan. Tetapi dengan cara miliknya, ia selalu merasa nyaman. Walau selalu kesepian. Tanpa kawan dan topangan, apalagi hiburan. Yang bisa menyembuhkan luka yang telah tertanam

Tolong, kembalikan kepingan itu, sekasar apapun caramu.

09:25p.m March, 28 2011
Dhita

Wednesday, March 2, 2011

And here....

Gue udah capek menjabarkan gimana sakitnya perasaan ini. Sampai mungkin gue ketawa sendiri karena gue bingung, gue kok tolol banget. Gue nyaman dengan keadaan yang perlahan bikin gue frustasi. Bikin gue mati rasa. Bikin gue selalu bergumam, 'Gak Ada Apa-Apa'. Dan itu semua gue lakuin hampir 3 tahun. Sebenarnya, fix all nya setahun lah gue mulai frustasi. Dan tadi, gue perlahan mulai ngerasa, makin lama gue bisa kena serangan saraf putus tiba-tiba. Gue sendiri kan yang masih pengen gini? Gue sendiri kan yang masih milih terus bertahan? Gue sendiri kan yang gak sanggup ngelupain dia? Gue..gue...
Terserah kalian mau bilang apa, ini emang pilihan gue. Sekalipun nyiksa gue sampai gue mati rasa kayak gini. Sampai gue sok tegar, seolah hati gue ini kayak hati bayi baru lahir. Gue emang gak cukup pintar buat nyembunyiin semuanya. Tapi gue juga gak pandai mengekspresikan semuanya. Gak ada yang perlu gue keluarin. Semua cuma bakalan nambah beban pikiran gue. Ini pilihan gue, gue yang cape, gue yang sakit, gue yang nangis, gue yang tolol.....
Kadang gue juga mikir kok, ngapain sih gue masih ngarepin dia? Nungguin dia? Bukannya dia emng betul-betul gak akan balik? Simple, gue sayang dia. Gue cinta dia. Gue senang hidup dalam kenangan masa lalu. Walau gak jarang lo bakal nemu gue lagi duduk diatas kasur, ngetik urakan kata-kata diatas notebook/komputer, lampu dimatiin, dengan pandangan kosong.
Gue pengen jadi gue, gue pengen nangis. Gue pengen ngeluh. Gue pengen teriak. Tapi rasanya gue gak bisa. Gue gak boleh. Itu bukan gue. Gue bukan tipikal cewek cengeng.
Gue juga pengen terbuka. Ya, tapi gue canggung untuk membuka suatu percakapan.
Dan ini, tweets gue pada hari ini. 2 Maret 2011, di atas sebagian rasa sakit yang malah bikin hati gue mati rasa :
*LO TAU?? RASANYA GUE PENGEN MATAHIN SIMCARD GUE AAAAA WATDE..... ASDFGHJKL
*And now im crying. And again, for you.
*Oh Tuhan, harusnya gue sadar....harusnya....bego)''': *Tau gini gak akan deh sms dia.......ah please dong *SOMEONE!!!! WAKE ME UP!!! HE'S NOT MINE AND NEVER BE ANYMORE!!!
*He havent saved my number yet
*And over tomorrow i'd try to forgettin him.
*God, that should i know, i never be his anymore
*He has his own world. I cant touch that. Whatever i do, i cant. I never could be.
*God, that should i know. Maybe he thinks i have died
*I've to shopping. Maybe thats way to make me feel better
*I just think, what i've done lastnight to him, like a trash. He never know and never be.
*This's more than a pain anymore.
*I HAVE TO KNOW, IM NOT LIVING IN A DREAM. THIS IS REAL!!! AND HE AND I JUST IN A DREAM!!
*I must go on....Moving on....
*Have i bought a pill to make me forget everything?
*I have too much friend who'd support me. Who love me. Oh God....
*I want to breakup my phone. Thats make me confuse. I have standby it.
*Smone, tell him.
*Have you loved smone till u forget to loving your own self?
*Have you ever waited for someone, until the time was forced to stop you?
*Have you expected someone, until you are numb to the other?
*I am a person who would love him from everywhere i was, behind his happiness. Above all regret
*I could to loving, but i couldnt hold the love. So, why love still exist?
*Wanna stand by out my phone. This phone and my personal phone. I need time to rest
*This more than a pain. Moorrrrreeeeee. And i have been numb
*I love you
*He's not everything....yeah. I have said it manytimes until it doesnt mean anything
*'Why you still waiting for him?' 'I love him'
*I never know what i would be without him....Although just on my imagine
*Loving you doesnt need any reason

HBD,wyatb

Love, Dhita

Tuesday, February 15, 2011

(Aku Harap) Ini Akhir

Aku kira melupakanmu akan semudah ketika kau melupakanku. Oh, ternyata tidak.

===

Sinar matahari menelusup secara paksa lewat gorden kamarku, menimbulkan sedikit cahaya yang jatuh tepat diwajahku. Aku mengerjapkan mata, membuat pandangan yang semula tampak kabur agar menjadi lebih jelas.
Baru saja aku membuka buku untuk mengisi hariku di hari ini, tetap saja namamu yang tertulis secara tidak sengaja disana. Kira-kira, sampai kapan, ya?
Kisah kita memang sudah berakhir sejak lama. Oh, aku salah. Bahkan kisah kita diakhiri secara sepihak. Dan kenangan tentang kita, entah kenapa masih terasa segar di otakku. Selalu. Aku bahkan masih merasa, kau masih ada untukku. Masih akan membuaiku dengan kata-katamu yang malah akan membuatku menggeliat geli, bukan membuatku tersipu.
Mungkin memang karena aku, yang belum siap untuk menghilangkan kenangan kita. Kenangan yang sadar tidak sadar, membuat semangat hidupku selalu lebih berenergi. Kenangan yang tak akan pernah dirajut kembali, untuk menemukan akhir yang bahagia. Bukan akhir yang mengenaskan seperti apa yang terjadi.

===

Kisah ini sudah teronggok mati, yang seharusnya aku lempar jauh-jauh ke laut sana. Seharusnya. Mengerti, kan?

====

Ternyata yang orang bilang, ‘aku bahagia melihatmu bahagia’ itu kata-kata paling munafik yang pernah aku dengar. Saat ini, aku tidak bahagia ketika bertemu denganmu sedang duduk berdua seraya bersenda gurau. Aku tidak ikut tersenyum melihat senyummu yang bukan lagi untukku. Malah, air mata ini secara perlahan terus menetes. Padahal aku tahu, siapa aku, menangisi kamu?
Yang aku tangisi, bukan ragamu yang bukan lagi untukmu, bukan hatimu yang sudah terisi nama lain, bukan aku. Yang aku tangisi, mengapa tidak ada rongga setitik pun dalam ingatanmu, untuk sekedar mengenang kita, walau hanya 5 detik.
Semua orang bilang, ini hanya masalah waktu.
“Shil…..”bisikan lembut suara Nadya menyapa telingaku yang sudah tuli dengan keadaan ramai, dimana aku sekarang ini. “Udah jangan nangis. Mana Shilla yang kuat yang gue kenal?” ujarnya berusaha menghiburku.
Aku menyusut pelan air mataku, menegakkan kepalaku, dan baru sadar, GOR ini sangat ramai. Sivia, Gita dan Zahra pun hanya bisa menatapku dengan tatapn sendu, seolah mengerti apa yang aku rasakan.
“Rio masih ada?” kataku pelan, nyaris berbisik. Seolah menyebut namamu saja, bisa membuat tubuhku ini terbang bersama angin.
“Masih. Tapi udah pindah ke tempat supporter sekolahnya. Hari ini kan yang tanding sekolahnya.” Sivia menimpali. Aku mengangguk pelan. “Kita ke sana. Yuk. Hari ini sekolah kita kan tanding sama sekolah dia.”
Tanpa menunggu aba-aba, Sivia, Gita dan Zahra langsung menarikku. Nadya hanya mengusap pundakku. Aku tersenyum, terimakasih kepadanya. Hanya dia yang tak pernah bosan mendengar segala tentangmu, walau aku sudah mengulang kata-kata yang sama hingga ratusan kali.

===

Ini bukan salahmu. Ini juga bukan salahku. Bukan salah siapa-siapa. Ini sudah takdir alam yang tak bisa di ganggu gugat. Hukumnya sudah telak.

===

Kita seperti dalam dimensi yang berbeda. Kau tak dapat melihatku, tetapi aku dapat. Dan aku, tak bisa menyentuhmu.
“Shil, Ify tuh.” Aku langsung mendongakkan kepala ketika sedang menekuni Chees burger ku, mendengar bisikan Gita yang seolah membuat buku kudukku berjingkat.
“Cantik ya…pantes Rio mau.” Sahutku, nyaris berbisik. Memperhatikan wanitamu yang tengah duduk di sudut café ini. Memesan makanan kepada pelayan, lalu menyerahkan menu makanan seraya tersenyum. Aku diam.
Gita tersenyum. “Rio sayang sama dia, bukan karena dia cantik, kok. Lo juga cantik.” Sahut Gita, yang entah mengapa malah membuat dadaku semakin sesak. “Eh….” Gita sepertinya sadar, ada beberapa kata yang salah ia ucapkan, walau begitu kenyataannya. Aku mengangguk paham.
“Udah, lah. Gak usah dibahas. Gue udah males.” Aku berusaha menutup pembicaraan. Mau dibawa sampai manapun ini pembicaraan, tak ada satu kata pun yang akan membuat hatiku –setidaknya- lega. Semua pasti akan semakin menyesakkan.
Gita menatapku sendu, seolah mengatakan bahwa aku kuat. Bahwa aku bisa. Ah, aku lelah harus berpura-pura terus.
Aku kembali menekuni cheese burger ku, sedangkan temanku yang satu itu asik memakan kebab-nya. Dengan perasaan lunglai, aku mengunyah perlahan daging yang bercampur dengan mayonise dan keju –aku tidak suka sayur-. Ini makanan kesukaanku, tapi tetap saja, jika keadaan seperti ini, rasanya sangat pahit. Bahkan menelannya saja, seperti menelan kerikil jalanan. Sakit.
“Gita!” terdengar suara bersemangat memanggil Gita. Suara lembut yang bahkan sampai kapanpun tak akan aku miliki. Suara Ify. Ah…kenapa sih, dia harus sadar bahwa ada Gita disini. “Yaampun, apa kabar lo Git?” Tanya Ify histeris, Gita menyambutnya dengan pelukan hangat. Bagaimanapun, mereka berteman dekat.
“Gue baik Fy, lo gimana? Gak ada kabar deh.” Sahut Gita tak kalah semangat. Ify menarik satu kursi di sebelah Gita lalu mendudukinya. Seolah tidak sadar, masih ada orang di meja ini. Gita menoleh perlahan ke arahku, tersenyum, mencoba memaklumi.
Aku diam, mencoba mengerti. Toh mereka sudah tidak bertemu sekitar 6 bulan. Aku mengerti.
“Ih iya, nih. Gue sibuk sekarang kelas 11.” Jawab Ify.
“Oh iya, denger-denger lo wakil osis ya? Cie.”
“Ah biasa aja, kali. Lo juga anak MPK, kan?”
“Eh ngapain lo kesini? Sendirian lagi.”
“Itu, gue nungguin Rio, dari jam 2 janjiannya, eh dia baru datang sekarang. Tapi malah nunggu di toko buku sebrang jalan.” Dan untuk yang satu ini, aku harap percakapan itu segera di akhiri. Sekuat apapun aku, aku akan seperti disiram air keras. Langsung pecah tak terbentuk. Dan, aku bisa berusaha tersenyum, tetap saja, aku tak kuat untuk tersenyum lebih lama untuk hal ini. Tentang kamu.
“Oh…Rio yang waktu itu lo pernah sms?” dan kali ini, tak ada nada semangat dari ucapan Gita. Aku mendengarnya, ini benar-benar sebuah basa-asi yang ingin cepat-cepat ia akhiri. “Eh kenalin ini temen gue.” Dan Gita akhirnya menoleh ke arahku yang sedari tadi hanya mengaduk lemon tea ku menggunakan sedotan.
Ify tersenyum ramah ke arahku, memamerkan deretan giginya yang dihiasi behel, seraya menyodorkan tangannya, mengajakku berjabat, “Eh sorry, gue Ify.” Katanya.
Aku berusaha tersenyum semanis mungkin. Menguatkan dalam hati, wanita di depanku ini wanita yang di cintai oleh lelaki yang aku cintai. Dan ia tidak bersalah. “Shilla. Santa aja, Fy.” Sahutku, menjabat tangannya.
“Eh gue cabut, ya. Kasian Rio nunggu lama-lama. Duluan yah Git, Shil.” Dan Ify pun meninggalkan meja ini. Yang tersisa hanya derap langkahnya yang menggema di café yang sepi ini.
Aku masih memperhatikannya. Ia berjalan dengan angggun. Dari belakang saja sudah terlihat ia wanita yang manis. Rambutnya yang di kuncir kuda bergoyang seiring dengan langkahnya menyebrang di zebra cross. Dan disana, mau tidak mau aku melihatmu keluar dari toko buku. Tersenyum, menyambut wanitamu. Dan Ify, sedikit berlari untuk segera mendekat.
Aku menunduk. Aku tidak kuat untuk lebih lama melihat semuanya. Hal yang paling aku takutkan itu kembali terjadi, melihatmu bersama wanita lain.
Gita mengelus tanganku yang terkulai lemas di meja. Dia sempat melihat ketika tadi dirimu keluar dari toko buku dan segera menyambut Ify. Walau begitu, tetap saja ia takkan tahu, bagaimana sesak yang aku rasakan.
“Lo udah milih jalan inikan, Shil? Gue udah ngasih lo 2 solusi, 2 pilihan. Dan lo tetap memilih yang ini. Yang diam-diam gue harap, lo gak akan memilih jalan ini. Karena gue tahu, lo tersiksa.”
“Tapi gue gak ngeluh kan, Git? Enggak, kan? Gue baik-baik aja Git…..” dan seiring dengan itu, air mata ini tumpah. Aku harap, segera mengurangi luka yang terasa telak di hati ini.
“Shil, udah……ini bukan Shilla yang gue kenal.”
“Gue rela Git gue rela kehilangan raga dia, gue rela gue terima di hati dia udah gak ada lagi nama gue. Gue rela dia udah ngelupain semua kenangan antara gue sama dia…. Tapi harus ya, Git, dia pura-pura gak kenal sama gue? Seolah kita gak pernah ketemu sebelumnya? Harus, ya, dia buang muka setiap ketemu gue?” dan aku semakin histeris. Walau nada ini perlahan semakin memelan, tapi aku yakin Gita tau. Sakit di dada ini semakin perih.
“Gue tahan Git selama ini. Toh gue sendiri udah cape nangisin dia setiap malem. Gue cape terus diam-diam ngeharepin dia bakalan inget nama gue. Selama gue tahu dia jadian sama Ify, gue gak nangis. Gak ada air mata buat dia. Gue ikut seneng dan sampai kemarin ketemu di GOR, waktu lagi-lagi dia ngebuang muka saat ngeliat gue, gue masih bisa tahan air mata gue. Gak ada air mata yang keluar, air mata gue udah beku buat dia.”
Aku menegadah. Memperlihatkan pipiku yang kering. Tak ada air mata disana. Aku sudah bilang, kan. Menangis tak lagi cukup untuk melampiaskan segalanya. Hanya 3 tetes air mata yang menetes.
“Pulang, yuk? Gue tahu lo butuh waktu.” Dan akupun mengiyakan. Bangkit dari sana. Dari sudut mataku, aku perlahan mengintip ke toko buku sebrang. Aku menghembuskan nafas lega, mereka sudah tidak ada.

===

Hidup itu terlalu rumit. Terlalu banyak pilihan yang begitu menjebak. Tenang saja, mata hati akan selalu tepat.

===

Dan kini, bayang-bayang yang selama ini aku hindari terus menyelubungi hati ini. Membuat segala kepastian dan pilihan perlahan meragu. Entah hanya karena emosi saja, atau aku memang tidak terlalu yakin dengan segalnya. Dari awal, ketika aku memilih jalan ini.
Aku memang memaksa untuk menempuh jalan ini. Karena aku masih takut, masih belum siap dengan apapun yang terjadi nanti, jika aku harus hidup dalam proses melupakannya. Aku tidak tahu bagaimana aku nanti, ketika hariku, tak ada lagi namanya yang menjadi alasan aku tersenyum sendiri.
Ini memang alasan yang tidak masuk akal, tapi setidaknya aku nyaman. Walau menyakitkan. Tapi tetap saja, ini ada titik jenuhnya. Ketika aku meminta, agar semua bisa diulang kembali.
Dan aku tahu itu semua tak akan pernah terjadi. Aku tahu, diam disini sama saja terus berjalan di tempat. Aku menolak untuk menerima hari baru yang telah menyambutku.
Dia telah mempunyai dunianya sendiri. Dan aku tak akan bisa menyentuhnya.
Dia telah berubah, tapi tempat di hatiku sedari dulu tak pernah bergeser satu melimeter pun.
Aku memang payah.

===

“Valentine dia 3 bulanan Shil…” kata Gita, nyaris berbisik. Ketika aku sedang duduk di kelas, menyenderkan kepala pada tembok disisi kananku.
“Tau kok, Git.” Kataku lalu tersenyum.
“Lo gak apa-apa kan, Shil?” Tanya Zahra yang duduk di meja depanku.
Aku menegakkan dudukku. Ini bukan aku. Aku, Shilla, yang selalu membuat mereka tertawa, bukan Shilla yang membuat mereka khawatir. “Santai, gue baik-baik aja, kok.” Dan aku lagi-lagi menyembunyikan segalanya di balik topeng yang sudah mendarah daging denganku.
“Oh iya, Ify cewek baik-baik kan, Git? Dia baik, kan? Gue baca twitter nya kayaknya dia sayang banget sama Rio. Kayaknya 3 bulanan ini dia mau ngasih surprise gitu ke Rio.” tanyaku pada Gita semangat, yang duduk di sampingku.
“Ify baik kok Shil. Tapi, lo bener gak apa-apa, kan?”
“Enggak. Gak percaya banget ih sama gue.” sahutku lalu setengah tertawa. Yang lain masih memperhatikanku dengan tatapan nanar. Dan aku benci ini.
“Shil, lo jangan terlalu masuk ke dalam lubang ini terlalu lama. Gue, kita, tau disana sangat menyesakkan. Gimana pun caranya, elo harus keluar dari lubang itu. Lo gak mungkin selamanya disana, kan?” kali ini Zahra ikut angkat bicara, dengan kedewasaan yang ia miliki.
“Dan kalaupun lo mau lupain dia, kita bisa Bantu. Semua butuh proses kok. Kita tau, lo gak bakalan seratus persen lupa sama Rio. Orang operasi aja masih ada kumatnya, gak menutup kemungkinan elo pun gitu. Tapi, kalau minum obat, senggaknya kumat itu jarang datang.” Timpal Nadya lalu tersenyum seraya mengelus jemariku lembut.
“Kenangan itu kayak album foto, dibuka kalau lagi mau aja. Tutup lagi kalau udah cukup. Toh album pun ada lembaran baru, kan setiap tahun? Hidup pun seperti itu, Shil.” Tambah Gita.
Dan kali ini, air mata yang menetes air mata haru. Mereka menyemangatiku untuk maju, tapi aku tetap pada pedirianku untuk terus berada di garis yang sama. Dan kali ini, aku akan mencoba segalanya. Mencoba memanjat lubang itu dan perlahan akan menutup album lamaku.
Aku yakin, kisah ini akan berakhir. Kapanpun itu. Dan segalanya, memang yang terbaik.
Aku memang masih akan menyimpan dia di lubuk hati terdalam, tapi bukan untuk selalu diingat, hanya untuk menjadi penghias hati ini. Sebagai yang terindah.

===

RANDOM!!!!!!!!!!! Curcol kaliyak? Oke leave comment on this site or my facebook Dhita liawaty saputri. And my tweets @dhitals.

Sunday, February 13, 2011

More printscreen about CakShil


I just captured some fact about Cakka Shilla. and here is it!!!


And for more photos, click this

That is wrong?

Love, Dhita.

Saturday, February 5, 2011

Pilihan?

Hidup terlalu rumit. Atau...aku sendiri yang membuatnya rumit?

Masalah hati saja harus tetap memilih

Kalau salah pilihan? Gawat.

Cerita tentang kita memang tak pernah berujung dengan pilihan. Maksudku, pilihan itu secara tidak sadar aku pilih. Sehingga, aku hanya dapat menggigit ujung kelingkingku.

Kau tidak perlu repot-repot untuk memilih. Ini hanya untuk aku. Aku yang masih terus bertahan di garis yang sudah ditimpa aspal lainnya, tetapi aku masih bertahan.

Sebenarnya, penyesalan membuatku terus bertahan

Mungkin ini yang orang bilang karma, dan, Penyesalan Selalu Datang di Akhir

Pilihan itu kini bagai, aku dihadapkan pada kenyataan jika aku mengidap penyakit dan harus di operasi. Tetapi operasi itu belum tentu berhasil, bisa juga gagal. Atau....terus bertahan dengan keadaan mengenaskan, sampai ajal menjemput. Toh semua sudah ada jalannya.


Tapi pilihan untuku kali ini, yang terlontar dari bibir temanku;
1) Terus bertahan seperti ini, ikut bahagia ketika kebahagiaan menyelimutinya. Tanpa pernah mengeluh. Karena itu konsekuensinya.
2) Move on. Melupakan segala tentangnya. Bahkan bila perlu, anggap dia telah enyah.

Dan aku, memilih pilihan pertama. Walau aku tahu, itu sangat menyakitkan. Tidak apa-apa. Hatiku sudah sekuat tembaga, kok.

Love, Dhita.

Wednesday, February 2, 2011

Perasaan Biasa

Ini hanya perasaan biasa yang entah mengapa bisa menjadi luar biasa. Sesungguhnya, ini hanyalah sampah masa lalu. Mungkin aku seperti orang gila, masih memeluk erat sampah itu. Entah mengapa, mengendurkan pelukannya pun terasa sulit? Apa iya aku menjadi tergantung pada sampah itu?

Merasa di-cuek-ki saja sudah tidak enak, apalagi dianggap tidak ada? Ah, itu konsekuensi. Mengapa juga aku masih bertahan digaris yang sama? Padahal garis itu sudah pudar oleh tanah dan angin.

Dalam benak ini, ingin memberi tahu lelaki itu, bahwa ia, masih menempati ruang khusus dihatiku. Bahwa aku masih menunggunya. Bahwa ia masih terlihat selalu sempurna. Tapi aku sadar, aku nihil dimatanya.

Aku juga rasanya ingin memberi tahu wanitanya, bahwa ada wanita lain yang juga menyayangi lelakinya. Dengan segala kekurangannya. Tenang saja, aku tidak akan merebut dia. Lelaki itu bisa tertawa disampingnya, bukan disampingku.

Ingin rasanya meneriaki telinganya dengan kata-kata beraagai perasaan yang memenuhi relung ini.

Dunianya dan duniaku sudah jauh berbeda. Mungkin dirinya pun sudah jauh berbeda. Walau begitu, tempat dihati ini tak pernah bergeser satu milimeter pun. Dan aku, takkan pernah bisa menyentuh dunianya se-inci pun.

Aku tahu.

Mungkin aku harus berbangga hati, karena aku salah satu wanita yang menempuh berbagai perjuangan untuk menggenggam cintanya. Padahal cintanya tak akan pernah menjemputnya dan mengajaknya terbang bersama menembus awan. Bisa dibilang, cintanya malah menyeret dan membuangnya ke laut. Untung saja ia jago berenang.

Dari ini semua, setidaknya aku mengerti rasanya untuk tulus dan ikhlas. Walau terkadang ada dimana aku berada di titik jenuh, dan mengeluh, 'kenapa sih, semua tidak berjalan dengan akhir yang indah, seperti skenario yang diam-diam aku rangkai sebelum aku terlelap?'. Menyedihkan.

Aku masih menunggunya. Aku belum sanggup lepas dari sanggahan memorinya.

Love, Dhita.

Sunday, January 30, 2011

Ini (masih) Tentangmu

Aku mendengar suara gemuruh pendukung -yang aku yakini- dari sekolahmu. Ternyata aku benar. Dengan tergesa-gesa aku mengantri untuk masuk ke lapangan indoor di GOR kotaku, berharap melihat dirimu sedang melempar bola basket, dengan peluh yang menghiasimu, yang selalu aku suka. Ternyata aku salah. Aku telah menelusuri semua pemain di sekolahmu, tetapi nihil. Kau tak bergabung dalam tim basket? Aku duduk di bangku undakan paling bawah, menaruh kepalaku di bahu temanku. 'Dia gak ada.' kataku lirik, berbisik untuk diriku sendiri. Tak ada yang mendengar, kondisi GOR saat ini sangat ramai. Maklum, pembukaan DBL COMPETITION. Teman-teman mengajak berpindah tempat, aku dengan malas mengiyakan.
Dari sudut mataku pun aku tahu itu pasti kau.
Kau duduk di undakan ke 4 menggunakan kaus berwarna hitam dengan sweater tersampir dibahumu.
Disampingmu, duduk wanita -kekasihmu- menggunakan seragam pramuka sedang bercengkrama denganmu.
Dada ini terasa sesak.
Memang, aku ingin bertemu denganmu, tapi....tidak dengan dia.
Aku berbisik pada Qisti, mengatakan bahwa ia ada disini. Di atas kita. Hanya dipisahkan 2 undakan. Aku bilang aku kuat, dan aku hanya ingin duduk. Itu karena kaki ini terlalu lemas untuk menahan.
Tapi nyatanya, aku menangis. Aku tak pernah sanggup bertemu denganmu, bersama wanitamu.
Di dalam GOR itu, keadaan sangat ramai. Tapi tetap saja, kamu tak bisa mengalihkan pikiranmu. Aku selalu membuat alasan untuk bisa menoleh ke atas-belakang, agar bisa menikmati setiap lekuk wajahmu. Masih sama. Senyum yang selalu mendamaikan hatiku. Tapi senyum itu bukan lagi untukku.
Aku dan teman-teman bergegas menuju tempat supporter sekolah kami berkumpul. Walau dalam keadaan risuh, aku tetap saja mencarimu, ingin terus mengintilmu, agar aku tahu kemana kamu pergi. Gila.
Sampai akhirnya, aku menemukan kau telah hilang. Entah ditelan oleh puluhan orang di depanmu atau kan sudah pergi.
Aku meringis cinta. Masih adakah kesempatan untukku menikmati lekuk wajahmu? Kapan? Terakhir kita bertemu selain hari ini, 10 Oktober 2009. Ditempat ini juga. Aku suka ketika ada ada kompetisi basket, karena dengan mudah aku akan menemuimu. Aku mengecek twitter wanitamu. Oh, ternyata kalian malam minggu ke cisarua? Have fun:D.

Aku berharap ini semua memang yang terbaik. Aku ingin melihat caramu me-shoot bola ke ring. Aku ingin menikmati setiap peluh yang menghasi lekukan wajahmu.

Maaf....
Love, Dhita.

Saturday, January 29, 2011

'Do you remember the nights we stayed up, just laughing smiling for hours at anything? Remember the nights we drove around crazy in love? Do you remember the nights we made our way dreaming hoping of being someone big?'


We'll be Dream - We The Kings

Thursday, January 20, 2011

Kapan dinding itu bisa aku tembus?

Ayah, aku rasa aku begini karena sejak dulu ada yang takbiasa antara kita.
Aku kehilangan figur ayah yang selalu mendukungku
Aku lupa rasanya dibelai oleh rasa sayangmu
Aku lupa rasanya dikecup hangat olehmu
Aku lupa cara aku meminta sesuatu darimu
Aku bahkan lupa, suaramu ketika memanggilku dengan penuh cinta.
Aku lupa senyum sumringahku ketika mendapat sesuatu darimu.
Aku ingin, ingin itu ada dalam hidupku.

Aku tahu, kau memang seorang dengan sifat cuek tetapi sarat perhatian.


Aku tak mengerti, apa aku yang belum bisa berpikir dewasa, atau yang aku pikirkan ini benar.
Aku akui, aku memang sedikit menuntut darimu.
Aku meminta sedikit perhatian lebih darimu.
Aku telah melakukan segala yang terbaik untukmu, untuk kedua orang tuaku.
Aku ingin menjadi yang terbaik.
Tapi mengapa kau tak pernah membuka mata dan telingamu, melihat dan mendengar sedikit saja tentang aku.
Bukan aku merasa sudah menjadi yang terbaik sehingga aku seenaknya seperti itu, tidak.
Malah sepertinya aku merasa sudah lelah untuk semua.
Karena toh, kau tak pernah menoleh ke arahku.

Ayah, aku lelah.
Entah mengapa, mungkin karena kita baru bersama semenjak 6tahun belakang, membuat aku tak mengerti semua.
Membuat aku merasa ada sekat tipis kasat mata diantara kita.
Ada sesuatu yang takbisa aku pahami.
Ada sesuatu yang membuatku tak terbiasa, membuatku canggung.
Berbeda dengan ketiga kakakku yang lain, yang sejak lahir sudah bersamamu.
Bukan aku merasa dianak tirikan, bukan. Tho, darahmu mengalir dalam tubuhku, kan?
Mungkin ini memang pikiran dangkalku, bahwa aku sebenarnya belum bisa dewasa.
Tho aku pun hanya anak biasa, dengan kemampuan seadanya, yang mau tak mau harus kau akui, dengan kemampuan paling memuaskan -bukan sombong.
Tapi tho kemampuanku hanya rata-rata. Aku tidak masuk 10 besar dalam kelas unggulan.
Tidak.
Tapi setidaknya... .yaaa...
Yang pasti, jauh dilubuk hati ini, keinginan untuk membuat rasa bangga meletup dalam hatimu itu berada dalam barisan paling awal.

Aku tidak tahu kapan sekat tipis itu dapat kita runtuhkan.
Menjadikan hubungan kita yang lebih baik.

Love, your little daughter.

Friday, January 14, 2011

"I'll scream loud at the top of my lungs tonight, 'Cause you know you will always be my light, Shooting stars could never be this bright Do you know you will always be my light?"

Im Afraid of Losing You - ARTTM
"Does she watch your favorite movies? Does she hold you when you cry? Does she let you tell him all your favorite parts When you've seen it a million times? Does she sing to all your music While you dance to Purple Rain? Does she do all these things Like I used to?"

Like We Used To - ARTTM
"I leave my window open Cause I'm too tired at night to call your name Just know I'm right here hoping That you'll come in with the rain I could stand up and sing you a song But I don't want to have to go that far And I, I got you down I know you by heart And you don't even know where I start Talk to yourself Talk to the tears Talk to the man who put you here And don't wait for the sky to clear"
Come In With The Rain - Taylor Swift
Try to learn something about everything and everything about something. #viatumblr
Seperti debu. Cinta tidak akan menghilang sekuat apapun kita memaksanya. Dan mungkin, itulah aku..kepadanya..

-Anindhiya
Pernahkah kamu mencintai seseorang, hingga lupa mencintai dirimu sendiri ?
Pernahkah kamu mengharapkan seseorang, hingga kamu mati rasa pada yang lain ?
Pernahkah kamu menanti seseorang, hingga waktu terpaksa menghentikanmu ?


-Anindhiya♥
Aku tidak peduli akan raganya, meski ia sempurna..
Aku butuh jiwanya Menyentuh rasanya Sedikit memeluk senyumnya Menggenggam ceritanya Ikut merajut mimpinya Hanya ingin menemaninya Menjaga indah tawanya Mendekap bahagianya yang sempurna Larut akan tingkahnya Ingin dirinya terus bercahaya Dia yang istimewa seperti biasanya.


-Anindhiya

Aku Tahu, Dari Kamu

Aku tahu rasanya dikhianati. Aku tahu sakitnya didustai. Aku tahu perihnya dilukai. Aku tahu sepinya ditinggali. Aku tahu lelahnya terus menanti. Aku tahu rindunya kepada orang yang tak mungkin hadir lagi. Aku tahu itu semua. Dari kamu.


Aku tahu melambungnya digombali. Aku tahu tersipunya dirayu. Aku tahu tersanjungnya dibuai. Aku tahu rasanya pipi ini merona. Aku tahu hangatnya belaian yang spesial. Aku tahu indahnya dicintai. Aku tahu nikmatnya dikasihi. Aku tahu itu semua. Dari kamu.


Ini bukan apa-apa. Sepenggal kata-kata tak bermakna yang hanya akan tersapu ombak dipantai sana.


Aku masih ingin kamu. Walau kutahu itu tidak mungkin. Aku masih terus berusaha tulus dan ikhlas. Walau kadang aku merasa lelah. Aku masih terus berdoa agar kamu baik-baik saja. Walau bukan denganku. Itu untuk kamu. Demi kamu. Orang yang masih aku sayangi.


Kadang ketika aku memimpikan segala tentang kita yang penuh dengan keindahan, aku hanya dapat meneguk ludah kecewa. Itu hanya mimpi.


Kadang aku pun harus terus mengukuhkan hati. Bahwa tak ada yang tak mungkin. Tapi sampai kapan aku terus menanti dan yakin, bahwa kau akan kembali?


Kadang aku iri kepada siapapun yang dengan mudahnya memindahkan hatinya ke hati yang lain. Bukan seperti aku, sudah tahun ke-3. Sampai tahun ke berapa aku menanti?


Aku masih tidak percaya, bagaimanapun aku sudah tidak akan bisa menyentuh duniamu se-inci pun. Duniamu dan duniaku sudah jauh berbeda. Bahkan kau sendiri pun jauh berubah.


Aku hanya bisa berdoa. Berharap agar ini semua memang yang terbaik. Ini jalan yang Tuhan pilih untuk kita. Berdoa, agar semua memang akan indah pada waktunya. Berdoa, agar aku yakin akan segalanya.



Love, Dhita.
Finger Peace Sign