Tuhan, kali ini surat saya bukan untuk-Mu.
Tenang saja Tuhan, saya sudah mulai bisa menerima sekaligus mengerti setelah saya dengan susah payah meraba-raba, arti dari semua badai ini.
Hati, aku mohon.
Sekali lagi saja, bertahan lah untuk saya.
Berusahalah agar menjadi lebih kuat.
Agar menjadi lebih tegar.
Saya hanya bisa bergantung padamu kali ini, Hati.
Saya mengerti, dan saya juga merasakan selelah apa kamu saat ini dengan segala badai yang menerpa.
Tapi saya mohon, bertahanlah.
Saya sudah tidak tahu harus meminta kepada siapa lagi selain kepadamu.
Bukankah dulu kamu sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini?
Bukankah dari dulu tugasmu hanya untuk membohongi otak agar saya tidak perlu menunjukkan serapuh apa kamu saat itu?
Bukankah begitu, Hati?
Maaf, maafkan saya Hati.
Saya tahu, luka kamu bukan hanya luka biasa.
Maaf karena otakku belum mengerti bagaimana mengatur segalanya agar tidak menyakitimu.
Tapi tenang saja, Hati, aku sudah mulai belajar agar tidak menyakiti kamu.
Hatiku sendiri.
Tenang saja Tuhan, saya sudah mulai bisa menerima sekaligus mengerti setelah saya dengan susah payah meraba-raba, arti dari semua badai ini.
Hati, aku mohon.
Sekali lagi saja, bertahan lah untuk saya.
Berusahalah agar menjadi lebih kuat.
Agar menjadi lebih tegar.
Saya hanya bisa bergantung padamu kali ini, Hati.
Saya mengerti, dan saya juga merasakan selelah apa kamu saat ini dengan segala badai yang menerpa.
Tapi saya mohon, bertahanlah.
Saya sudah tidak tahu harus meminta kepada siapa lagi selain kepadamu.
Bukankah dulu kamu sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini?
Bukankah dari dulu tugasmu hanya untuk membohongi otak agar saya tidak perlu menunjukkan serapuh apa kamu saat itu?
Bukankah begitu, Hati?
Maaf, maafkan saya Hati.
Saya tahu, luka kamu bukan hanya luka biasa.
Maaf karena otakku belum mengerti bagaimana mengatur segalanya agar tidak menyakitimu.
Tapi tenang saja, Hati, aku sudah mulai belajar agar tidak menyakiti kamu.
Hatiku sendiri.