Tuhan, maaf. Malam ini saya ingin mengeluh menumpahkan
segala yang sudah mengendap terlalu lama dalam benak saya. Yang sudah terlalu
jauh saya singkirkan padahal itu hanya akan membuat saya tersiksa. Maaf Tuhan,
hanya malam ini saja.
Bisakah Kamu memaafkan saya jika saya berkata, bahwa saya
sudah tidak percaya lagi pada segala macam dan bentuk harapan? Sekali lagi,
maaf, Tuhan. Saya hanya sedang lelah mengatur nafas yang terasa sangat memburu
dan begitu menyesakkan ini.
Saya tidak mengerti kesalahan sebesar apa yang sudah saya
perbuat atas Kamu sehingga harapan yang selalu saya panjatkan hanya terkabul
sepersekian mili nya saja. Sedangkan harapan yang sangat saya panjatkan tidak
pernah terkabul. Dari dulu. Kenapa, Tuhan? Apa ada begitu banyak kesalahan yang
saya perbuat sehingga saya menjadi seperti ini?
Saya hanya lelah Tuhan. Lelah. Menopang segalanya sendirian
tanpa satu orang pun teman yang bersedia bahunya saya pinjam untuk sekedar
menumpahkan cairan hangat ini. Cairan yang bahkan sedang mengalir menganak
sungai di pipi saya saat saya sedang mengetikkan kata demi kata di surat ini.
Saya tidak sekuat itu, Tuhan. Saya lelah berpura-pura segalanya baik-baik saja.
Saya ingin segalanya berjalan normal seperti apa yang saya harapkan. Apa bisa,
Tuhan, satu satu saja badai yang mengahmpiri saya? Tidak usah langsung
sekaligus seperti ini. Saya bingung harus berpengangan kemana.
Maaf, Tuhan, maaf. Maaf saya sudah selancang ini. Saya tidak
tahu apa yang harus saya perbuat. Saya hanya sedang merasa begitu rapuh. Bahkan
tiupan angin pun rasanya bisa meluluh lantahkan seluruh jiwa saya dalam
sedetik.
Ada apa Tuhan? Ada apa?
Haruskah saya percaya lagi pada harapan yang sedari dulu
saya bangun tapi tak jua menjadi nyata?
Haruskan saya terus berharap agar harapan-harapan saya tidak
hanya menjadi harapan semu?