Tulisan ini ditulis ketika diri sudah tidak sanggup lagi
menahan segala kekecewaan yang melanda.
Ini bukan tentang bagaimana menerima takdir dan kemudian
pasrah terhadap apa yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.
Ini hanya tentang hati yang mulai tidak mengerti permainan
apalagi yang harus dijalani.
Bukan tentang kamu, yang datang dan pergi sesuka hati.
Sungguh, kamu bukan yang pertama kali memperlakukan aku seperti itu.
Terlalu banyak tanda tanya besar yang menggema daalam otak
dan kemudia bersarang menjadi penyakit, hanya takut kemudia otak ini lama
kelamaan tidak akan pernah lagi berkompromi dengan hati karena terlalu sering
mengalami racauan yang menyakitkan.
Orang bilang hidup tentang belajar bagaimana mengambil
hikmah dari setiap perkara. Kalau sudah berulang kali menghadapi masalah yang
sama dan berakhir dengan naas seperti sebelumnya, itu bagaimana? Padahal dirasa
sudah memperbaiki dari kejadian sebelumnya.
Bukan berarti mengeluh kepada Sang Pencipta, hanya saja,
mungkin sedang pada titik lemah yang ada menimpa diri. Karena terus
melengkungkan senyum tanpa memperdulikan hati yang perlu ditata kembali pun
memilukan.
Selalu ada yang perlu dibenahi dari hidup setiap detiknya,
bukan?
Mungkin ini yang namanya kecewa pada diri sendiri karena
tidak juga berangsur membaik. Hanya takut kemudian menjadi antipati dan tidak
ingin berurusan lagi. Karena takut mengalami seperti yang sebelumnya.
Seperti saat ini, baru akan dimulai, tapi sudah memvonis
akan berakhir seperti yang lalu-lalu.
Sudahlah, hati dan otak ini selalu saja meracau pada waktu
yang tidak tepat.